Drama "Rebutan" Pemain dan Solusi Ala Kekeluargaan

Kontrak adalah hal yang sangat penting dan harus dipahami sebelum disepakati kedua belah pihak.

Persoalan kontrak dan penyelesaian kekeluargaan tampaknya masih menjadi hal yang lumrah di sepak bola Indonesia hingga saat ini. Senin lalu, penyerang Persebaya Rivaldi Bawuo melalui akun instagramnya resmi pamit dari Persebaya.

Hal itu tentu mengagetkan, sebab sejatinya ia akan dikontrak permanen oleh Persebaya mengingat penampilannya dinilai apik saat Piala Menpora 2021 lalu. Bahkan ada beberapa dokumen penting yang sudah ia tanda tangani diatas materai.

"Sebenarnya saya cukup menyayangkan, karena (Rivaldi Bawuo, Red) tidak memegang komitmen," kata pelatih Aji Santoso dikutip dari laman JPNN. Apalagi, menurut coach Aji, Rivaldi sempat berkata jika setelah Piala Menpora masih ingin tetap di Persebaya.

Meski tidak sama persis, kejadian tersebut sedikit mengingatkan kita akan persiapan Liga Indonesia 2004 lalu. Berstatus tim promosi, skuad Persebaya pada Liga Indonesia 2004 lalu tergolong berlabel bintang. Banyak sekali pemain berkelas seperti Kurniawan DJ, Christian Carrasco, Uston Nawawi, Danilo Fernando, dan masih banyak lagi lainnya.

Namun, ketika itu ada beberapa pemain yang proses masuknya ke Persebaya sempat mengalami kendala akibat "rebutan" dengan tim lain. Hingga membuat kedua pihak klub bertemu untuk menyelesaikannya. Tentu saja secara kekeluargaan.

Bejo Sugiantoro dan Hendro Kartiko

Drama "rebutan" pemain pernah terjadi antara Persebaya dan Arema pada persiapan Liga Indonesia 2004 lalu yang melibatkan defender Bejo Sugiantoro dan kiper Hendro Kartiko.

Dua pemain sepaket yang juga pernah membela Persebaya sebelumnya ini awalnya dikabarkan telah melakukan perjanjian dengan Arema Malang. Namun tensi suporter antara Persebaya dan Arema memang begitu luar biasa, sehingga rencana perekrutan ini menjadi panas.


Bejo Sugiantoro ketika membela Persebaya melawan Persib pada 2004 lalu. (foto: ANTV)

Bejo Sugiantoro sendiri menilai bahwa perjanjian tersebut baru sebatas Pra Kontrak. Namun pihak Arema dengan yakin menyatakan bahwa hal tersebut hanyalah persepsi Bejo karena sebenarnya itu kontrak resmi.

Masalah ini akhirnya diselesaikan dalam pertemuan antara dua pihak di Kompleks Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang. Tepatnya di rumah Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi pada Selasa, 11 November 2003.

Dikutip dari KOMPAS (12/11/2003 hlm. 64), dalam pertemuan tersebut hadir Anwar Hudijono (Pemimpin Redaksi Surya) sebagai mediator, Haji Santo (Ketua Harian Persebaya), Darjoto Setyawan (Ketua Yayasan Arema Malang), Satrija Budi Wibawa (Sekretaris dan Humas Arema), Gandi Yogatama (Ketua Harian Arema), dan juga Suhar Billah (Ketua Harian Pagernusa).

Dalam pertemuan tersebut, Haji Santo selaku perwakilan Persebaya meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan Bejo Sugiantoro dan Hendro Kartiko karena telah menyinggung perasaan Arema.

Disisi lain Ketua Harian Arema Gandi Yogatama mengatakan bahwa pada prinsipnya Arema dan Persebaya tidak ada masalah. Namun, kedua pemain (Bejo dan Hendro, Red) harus tetap diingatkan untuk mengetahui kesalahannya supaya tidak terulang kembali di masa mendatang.

Kemudian pada kesempatan lain, Tofan, Asisten Manajer Arema dalam KOMPAS (14/11/2003 hlm. 68) menilai jika sebagai seorang pemain, seharusnya pemahaman tentang kontrak adalah hal wajib. "Bejo itu pemain nasional, tentunya tahu betul apa artinya bila ia telah menandatangani perjanjian kerja diatas materai. Seharusnya tahu konsekuensi hukumnya bila dilanggar," kata Tofan.

Sementara Bejo dan Hendro menyatakan siap meminta maaf terkait masalah kontrak ini. "Saya sudah siap dan memang ada rencana untuk datang ke sana (Malang, Red). Saya dan Hendro ingin meminta maaf kepada publik sepak bola Malang," kata Bejo dikutip dari KOMPAS (15/11/2003).

Permasalahan tersebut akhirnya terselesaikan berkat kebesaran hati dua pihak. Bejo dan Hendro kemudian berjuang bersama di Liga Indonesia 2004 membela Persebaya untuk meraih prestasi.

Kurniawan DJ dan Uston Nawawi

"Rebutan" selanjutnya terjadi antara Persebaya dengan PSPS Pekan Baru yang melibatkan striker Kurniawan DJ dan gelandang Uston Nawawi. Keduanya dikabarkan sempat menandatangani dokumen dan menerima uang ikatan kerja. Sebab ketika itu, Kurniawan mengatakan bahwa PSPS ingin mempertahankan pemain sehingga membuat semacam surat ikatan kerja.

Dikutip dari KOMPAS (18/11/2003 hlm. 48) dan (19/11/2003 hlm. 52), dalam kontrak Kurniawan dan Uston sejatinya terdapat klausul bahwa PSPS memiliki opsi sebagai klub pertama yang punya hak untuk bernegosiasi dengan sang pemain. Selain itu, apabila mereka memilih pindah ke klub lain tanpa mengindahkan PSPS terlebih dahulu, maka keduanya akan dikenai denda 10 kali lipat dari uang ikatan kerja yang telah diterima.

Kurniawan DJ ketika membela Persebaya. (foto: ANTV)

Uang ikatan kerja tersebut sejumlah Rp 10 juta, sehingga berdasarkan kontrak tersebut, denda untuk masing-masing pemain adalah Rp 100 juta. Angka yang tidak kecil untuk ukuran tahun tersebut. Persebaya sendiri ketika itu belum mengambil keputusan apakah akan membantu menanggung denda tersebut, tetapi manajemen Bajul Ijo akan berusaha untuk mengurangi hukuman yang tertera dalam ikatan kerja sebelumnya.

Melalui sudut pandang Kurniawan DJ, memang benar PSPS memiliki opsi pertama yang bisa negosiasi dengan dirinya. "Hitam diatas putih, mungkin saya salah. PSPS memiliki hak pertama untuk nego dengan saya," kata Kurniawan dikutip dari KOMPAS (19/11/2003 hlm. 52). Sedangkan uang ikatan kerja senilai 10 juta bisa dikembalikan jika negosiasi tidak menemui kata sepakat. Hal itu lah yang membuat Kurniawan yakin untuk bernegosiasi dengan Persebaya.

Akan tetapi, jika klausul pertama sudah dilanggar, maka denda Rp 100 juta tersebut tetap berlaku. PSPS meminta tanggung jawab dari keputusan sang pemain.

Permasalahan ini akhirnya selesai dan kedua pemain, Kurniawan DJ dan Uston Nawawi membela Persebaya pada Liga Indonesia 2004. Mereka bahu-membahu membantu Green Force meraih target maksimal dalam setiap pertandingannya.

Jadi Pelajaran Bagi Pemain

Rumitnya drama "rebutan" pemain ini tampaknya harus disikapi pemain sebagai pembejalaran agar tidak terulang kembali. Pasalnya, dalam kontrak ada klausul yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.

"Kasus ini biar jadi pelajaran bagi pemain, agar mereka tidak mudah tanda tangan ikatan kerja kalau memang belum sreg," kata Haji Santo, Pengurus Persebaya dikutip dari KOMPAS (18/11/2003).

Sementara PSPS melalui Oyong Ezedin mengatakan jika sang pemain diharapkan menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan PSPS tanpa melalui Persebaya. "Kami saling menghargai sebagai sesama klub. Kami tidak punya urusan dengan Persebaya," kata Oyong dikutip dari KOMPAS (19/11/2003).

Diluar dari kejadian diatas, hingga saat ini permasalahan serupa masih mungkin terjadi. Sebab, jalur penyelesaian kekeluargaan masih menjadi opsi rasional dalam Liga Indonesia. 

Penyelesaian melalui jalur kekeluargaan memang sah-sah saja. Namun hal ini sedikit-banyak membuat kekuatan dari kesepakatan kontrak itu sendiri menjadi berkurang dan tidak mengikat secara tegas. Misalnya jika ada pemain yang melanggar, bagaimana jika dia tenang-tenang saja karena paham bahwa hal itu akan diselesaikan dengan budaya kekeluargaan yang selama ini dilakukan?

Kemudian, bagaimana dengan peran konsekuensi yang telah disebutkan dalam perjanjian? Apakah hanya deretan list yang terlihat tegas, tapi nantinya menjadi tak diperlukan karena telah menempuh jalur kekeluargaan?

Hal inilah yang perlu dipahami, agar sepak bola Indonesia juga kedepannya bisa semakin baik dan terorganisir dari tata kelolanya. Semoga.

Salam Satu Nyali, WANI!