Masih Relevankah Motivasi Negatif?
![]() |
| Persebaya Surabaya ketika meraih juara Liga Indonesia 2004. (foto: GILBOL) |
23 Desember 2004. Persebaya harus menjalani pekan pamungkas Liga Indonesia 2004 dengan status do or die: menang atau lupakan gelar. Walaupun tidak 100% memang, namun rasanya cukup mustahil bagi PSM untuk mengejar defisit 12 gol dari Bajul Ijo jika mereka juga menang.
Perjuangan Persebaya sendiri dipastikan tidak mudah karena harus menghadapi tim pemuncak klasemen sementara, Persija. Pun bermain di kandang jika terlalu percaya diri juga bisa menjadi bomerang. Apalagi ketika Persebaya tumbang atas Persela di kandang sendiri (15/08/2004), suporter begitu marah dan terjadi kericuhan.
Jika kekalahan pada match day biasa saja penonton bisa marah dan berpotensi ricuh, apalagi dengan laga super-penting seperti ini? Tentu sedikit-banyak ini berpengaruh terhadap mental pemain.
Disituasi seperti itu, manajer Bajul Ijo Saleh Ismail Mukadar mengeluarkan motivasi negatif kepada pelatih dan pemain dalam bentuk ancaman. “Semua perjuangan panjang Persebaya mengarungi kompetisi yang memakan dana Rp 13,5 Miliar ini akan sia-sia kalau kami gagal di partai terakhir,” kata Saleh Mukadar, dikutip dari Koran TEMPO (21/12/2004).
Tidak sampai disitu saja, sang manajer juga mengancam jika pemain tidak akan menerima bonus apapun jika hanya meraih runner up, apalagi peringkat ketiga. “Meski ada hadiah dari PSSI untuk juara kedua dan ketiga, serta bonus dari Gubernur, para pemain tak akan mendapatkan hak itu,” lanjutnya.
Tentu saja hal ini membuat pemain tidak punya pilihan lain selain berjuang keras untuk menang, meski pasti ada rasa ketakutan bila impian itu tidak terwujud. Pun ketika laga ternyata harus tertunda akibat hujan deras yang bahkan garis lapangan harus dicat hingga tujuh kali karena terendam air sudah pasti mempengaruhi mental.
Para pemain tetap harus menjaga mental tanding dengan baik. Bagaimanapun, keberanian untuk menang harus lebih besar daripada ketakutan akan kekalahan. Tugas pelatih Jackson F. Tiago bukan hanya meracik strategi, namun juga menjaga mental dan spirit anak asuhnya agar terus fight sampai kemenangan diraih.
Dan, syukur alhamdulillah, kerja keras dan perjuangan Persebaya membuahkan hasil. Berkat kemenangan 2-1 atas tamunya, Persebaya dipastikan juara setelah PSM tidak mampu mengejar selisih gol Bajul Ijo. Kemenangan itu disambut suka cita oleh seluruh elemen Bajul Ijo. Para pemain akhirnya mendapatkan bonus sesuai yang dijanjikan. “Hadiah Rp 1 Miliar akan dibagikan. Ditambah bonus wajib Rp 3 Juta per-pemain setiap Persebaya menang di kandang. Bonus tambahan pasti lebih banyak lagi,” kata manajer Saleh Mukadar dikutip dari KOMPAS (24/12/2004).
Tidak berhenti disitu saja, pada musim lalu ketika Persebaya terseok-seok di putaran kedua, Presiden klub Azrul Ananda sampai memberikan ultimatum kepada para pemain. “Saya tidak habis pikir, pemain kita bisa sering melakukan kesalahan yang begitu buruk, mudah kehilangan bola, kalah duel,” ujar Azrul Ananda dikutip dari situs resmi Persebaya. Bahkan sepuluh laga kedepan akan menjadi evaluasi siapa saja yang benar-benar ingin di Persebaya, atau hanya pura-pura. Sebuah statement cukup keras dari seorang presiden klub yang dipublish untuk publik.
Pro dan kontra pun terjadi. Namun ternyata berkat pendekatan yang dilakukan coach Aji Santoso sebelum pertandingan, Persebaya perlahan mampu bangkit dan menyegel posisi runner up yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Satu kalimat yang memorable adalah “berani pegang bola, jangan saling menyalahkan! don’t blame each other!”. Coach Aji juga memberikan waktu empat mata pada sesi latihan kepada pemain untuk memberikan pengarahan personal terkait strategi dan hal teknis lain.
Motivasi Negatif Dalam Sepak Bola
Motivasi adalah hal yang lumrah diberikan dalam bidang kompetisi apapun untuk mencapai tujuan. Salah satunya dalam bidang olahraga. Ruskin, Proctor & Neeves dalam HSC Core 2 Sport Psychology menjelaskan bahwa terdapat dua jenis motivasi, yakni motivasi positif dan motivasi negatif.
Motivasi negatif diharapkan mampu mendongkrak peforma karena takut akan konsekuensi akibat peforma yang kurang baik.
Motivasi ini bisa sangat keras, bahkan mungkin terdengar kasar sehingga ada potensi menurunkan kepercayaan diri pemain. Jenisnya bermacam-macam mulai dari intimidasi (ancaman), kritik, kritik dengan sarkasme, fisik, dan penekanan rasa bersalah ke pemain (Weinberg and Gould, 2007).
Dapat dikatakan, motivasi negatif ini sedikit gambling. Karena disatu sisi bisa membakar semangat pemain untuk menunjukkan kualitasnya, akan tetapi di sisi yang lain ada potensi besar bahwa pemain akan merasa down dan tidak percaya diri. Dimana hal itu jelas akan berdampak pada peformanya. Terutama untuk pemain era saat ini yang telah banyak berbeda dari era sebelumnya.
Sir Alex Ferguson, mantan pelatih Manchester United yang terkenal dengan metode hairdryer treatment (marah dan berteriak dihadapan sang pemain dengan jarak sangat dekat, Red) pun mengatakan jika ia mengurangi metode tersebut dalam sepak bola modern karena dianggap tidak cocok dengan karakter pemain era sekarang yang membutuhkan kenyamanan serta mentalnya tidak setangguh pemain era dahulu.
Karena jika dipaksakan seperti itu, maka ada risiko besar bahwa sang pemain tidak nyaman dan justru gagal menampilkan peforma terbaik. Alhasil akan berdampak kepada tim secara keseluruhan. “.... Anda harus memastikan bahwa mereka (semua pemain, Red) nyaman di lingkungan mereka karena ini industri dan Anda harus mendapatkan (kemampuan) yang terbaik dari mereka,” ujar Sir Alex dikutip dari DailyMail.
Meski demikian, harus diakui dampak dari hairdryer treatment ala Sir Alex yang dilontarkan saat turun minum sangat ampuh. Para pemain memang tidak membantah amarahnya, namun mereka berusaha memperbaiki peforma di babak kedua untuk meraih kemenangan. Pemberi motivasi jenis negatif ini harus mampu mengendalikan serta memposisikan diri sebaik mungkin agar tujuan dan harapan yang diinginkan bisa tepat sasaran.
Positif-Negatif Harus Seimbang
Well, tampaknya kritik pedas (alias Paido, red) sudah menjadi budaya yang turun-temurun dalam lingkungan Persebaya. Ketika Persebaya menelan kekalahan, sering kali kita menemui penggemar yang berseloroh “jadi pemain jangan manja!” lalu membandingkannya dengan hujatan dan kritik jaman pada era dahulu.
Pada dasarnya, perubahan itu selalu silih berganti kok. Memang, ketika era dahulu, pemain harus menghadapi tuntutan suporter yang selalu ambisius dan dibarengi dengan kritik serta hujatan keras. Namun sekarang kondisi lingkungannya sudah berbeda. Tidak mungkin kita kembali untuk memaksakan 100% kritik hujatan saat mengalami kekalahan.
Bagaimanapun, sebagai pendukung harus mampu menyeimbangkan antara kritik dan apresiasi: kritik melulu tidak baik, begitu juga apresiasi terus juga tidak bagus. Harus seimbang mungkin. Begitu juga dengan motivasi dari internal tim. Dua momen diatas (2004 dan 2019) bisa menjadi contoh, bagaimana motivasi negatif yang masih relevan sebagai kultur sepak bola Indonesia jika diimbangi dengan motivasi positif sesuai porsinya, maka akan berdampak baik kepada tim.
Solusi lain dari sektor internal tim pernah dijalankan Persebaya pada 2017 lalu, dimana Bajul Ijo menggaet seorang psikolog, Afif Kurniawan, untuk menjaga mental dan psikis para pemain dengan program-programnya. Entah apa alasan manajemen menyediakan slot ini, mungkin nama besar serta sejarah panjang Persebaya diprediksi membuat suporter langsung berambisi tinggi untuk langsung promosi ke kasta tertinggi. Dan itu rawan membuat mental pemain menjadi down akan kritik serta hujatan ketika mendapat kekalahan/imbang.
Tujuan lainnya tentu saja mendongkrak peforma pemain. Salah satu pemain yang mengalaminya adalah Irfan Jaya. Dengan konseling dan treatment khusus, peformanya beranjak naik. “Saya memberikan konseling khusus, terutama adaptasi,” kata Afif dikutip dari Jawa Pos (5/12/2017).
Kepercayaan yang diberikan akan membuat pemain jauh lebih berkembang. Maka, disinilah sisi seimbangnya bekerja. Pemain mungkin mendapat motivasi negatif dari luar seperti suporter dan mungkin juga dari tim pelatih. Disinilah tugas psikolog untuk menyeimbangkan kembali sisi tersebut.
Yuk rek, mari kita seimbang dalam memberikan pendapat. Kritik oke, apresiasi pun juga oke. Semoga dengan hal itu, para pemain semakin termotivasi untuk memberikan yang terbaik bagi Persebaya Surabaya. Karena para pemain membela tim ini bukan soal uang semata, tetapi melibatkan hati dalam bentuk relasi dengan seluruh elemen, termasuk suporter.
Kalau tidak mulai sekarang, kapan lagi?
Salam Satu Nyali, WANI!

Posting Komentar